Gereja adalah PERISTIWA. Saya sengaja mengutip ucapan Dietrich Bonhoeffer (DB) ini, pendeta/teolog yang dihukum mati oleh Hitler menjelang Perang Dunia II berakhir (1945). Mengapa? Karena menurut pengamatan saya, Gereja-Gereja di Indonesia cenderung sangat institusionalistis, bahkan terperangkap dalam lembaga, seakan-akan kelembagaan atau pelembagaan adalah tujuan bergereja.
DB yang hidup di era Hitler menyaksikan bagaimana Hitler menyalahgunakan gereja bagi tujuannya sendiri. Kita teringat akan Die deutsche Christenen atau Orang Kristen Jerman yang mengidentikkan gereja dengan ras/suku. DB menolak keras ide ini. Gereja tidak dapat dikurung dalam apapun.
DB menegaskan,"Kirche ist die Gegenwart Gottes in der Welt" (Gereja adalah kekinian/kehadiran Allah dalam dunia). Dengan mengatakan ini, DB mencegah historisasi gereja, di mana gereja dengan sangat mudah diidentikkan dengan komunitas agama; tetapi pada pihak lain, DB juga menolak identifikasi gereja dengan Kerajaan Allah.
Gereja adalah peristiwa, artinya yang terus bergerak secara dinamis dari kejadian yang satu ke kejadian yang lain, dari situasi yang satu ke situasi yang lain, dari kondisi yang satu ke kondisi yang lain.
Maka mestinya tidak ada antitesis antara yang religius dan yang profan, antara gereja yang empiris dengan gereja yang diimani. "Kirche ist nicht geweihtes Heiligtum, sondern ist nur eine Kirche aller Welt", kata DB.
Sebagai demikian, mestinya gereja tidak pernah boleh menjadi "mapan", yang puas dengan dirinya sendiri dengan berbagai perangkat kelembagaannya. Sebaliknya gereja harus terus bergerak dari peristiwa yang satu ke peristiwa yang lain, bahkan dari tragedi yang satu ke tragedi yang lain.
Dengan kata-kata lain, solidaritas gereja dengan dunia mesti nyata dan konkret; tidak hanya terungkap dalam khotbah-khotbahnya. Gereja yang terasing dari dunia bukanlah gereja. Tuhan memberkati!
Oleh. Pdt. Dr. A.A Yewangoe
Posting Komentar