SUARA.NABIRE - Perempuan dalam kosmologi Papua, memegang peranan yang sangat strategis. Hal ini dapat dilihat dari fungsi perempuan yang lebih dominan dalam tatanan kehidupan sosial dibandingkan kaum pria.
Di beberapa suku Papua, perempuan memiliki wewenang untuk mengatur ruang-ruang seperti: ebeai, unila, wamai dan pekarangan. Sementara kaum pria dapat mengakses ruang-ruang tersebut, tetapi tidak mempunyai peran yang besar atau tidak punya peran sama sekali, dalam mengelola tata ruang didalamnya, (Djawaru, 2014).
Kaum pria cenderung berperan dalam memberikan proteksi pada keluarga atau kampung terhadap ancaman atau gangguan dari luar. Dengan pendekatan kosmologi tersebut, konservasi berbasis gender merupakan solusi efektif dalam pengelolaan kawasan khususnya di Papua.
Dalam konteks pengelolaan sumber daya perairan, perempuan Papua, terutama di wilayah perkampungan, tidak hanya memiliki identitas sebagai "mama" atau ibu rumah tangga dan istri, tapi mereka juga adalah petani, nelayan, pengrajin, ataupun pengusaha hasil hutan, yang dengan kegiatannya telah menghasilkan pendapatan untuk keberlanjutan kehidupan dirinya dan keluarganya.
Secara turun temurun, perempuan pesisir Papua telah memperoleh manfaat dari sumber daya tanah, hutan dan air di provinsi ini untuk keberlangsungan kehidupan dirinya, keluarga dan komunitas masyarakatnya.
Kehidupan mereka di wilayah perkampungan yang dekat dengan alam membuat mereka memiliki pengetahuan dan kemampuan pengelolaan serta pengolahan tanah, hutan dan air yang khas berdasarkan pengalaman dan “kesepakatan” sosial di dalam masyarakat asal mereka.
Kelompok Ibu "Mama IRA" Kampung Yomakan
Kampung Yomakan berada di Pulau Rumberpon yang secara administratif termasuk dalam wilayah Distrik Yembekiri. Sebagai kampung yang berada di pulau, sebagian besar masyarakatnya bermatapencaharian sebagai nelayan dan hanya sebagian kecil saja yang bekerja sebagai PNS, pedagang, dll.
Kajian mengenai peran, status dan otoritas perempuan dalam pengelolaan sumberdaya yang digunakan dalam konservasi di Yomakan ini merupakan pendekatan budaya yang berangkat dari teori feminisme, yang menuju pada diskursus kesetaraan gender.
Hal ini dilatarbelakangi oleh adanya pandangan bahwa terdapat ketidaksetaraan dalam akses terhadap peluang-peluang dan sumberdaya yang dialami oleh perempuan: “Feminists fight for the equality of women and argue that women should share equally in society’s opportunities and scarce resources.” (Delaney, 2005)
Namun sayangnya, peran perempuan dalam pengelolaan SDA sering terlupakan dan tidak mendapatkan perhatian. Hal ini kemudian berdampak kepada program-program pembangunan dan kebijakan-kebijakan yang belum mengakomodir ruang dan peran perempuan dalam pengelolaan sumberdaya alam, misalnya, belum dilibatkannya perempuan secara maksimal dalam proses pengambilan keputusan yang berdampak kepada hilangnya ruang sumber mata pencaharian perempuan dalam pengelolaan sumberdaya alam.
Berbeda dengan Kelompok Ibu “Mama IRA” yang beranggotakan para ibu Kampung Yomakan baik tua maupun muda. Pembentukan Kelompok ini berawal dari adanya niat kaum Ibu dalam rangka kebutuhan akan ruang kelola untuk berperan dalam pengelolaan sumberdaya alam.
Kaum pria cenderung berperan dalam memberikan proteksi pada keluarga atau kampung terhadap ancaman atau gangguan dari luar. Dengan pendekatan kosmologi tersebut, konservasi berbasis gender merupakan solusi efektif dalam pengelolaan kawasan khususnya di Papua.
Dalam konteks pengelolaan sumber daya perairan, perempuan Papua, terutama di wilayah perkampungan, tidak hanya memiliki identitas sebagai "mama" atau ibu rumah tangga dan istri, tapi mereka juga adalah petani, nelayan, pengrajin, ataupun pengusaha hasil hutan, yang dengan kegiatannya telah menghasilkan pendapatan untuk keberlanjutan kehidupan dirinya dan keluarganya.
Secara turun temurun, perempuan pesisir Papua telah memperoleh manfaat dari sumber daya tanah, hutan dan air di provinsi ini untuk keberlangsungan kehidupan dirinya, keluarga dan komunitas masyarakatnya.
Kehidupan mereka di wilayah perkampungan yang dekat dengan alam membuat mereka memiliki pengetahuan dan kemampuan pengelolaan serta pengolahan tanah, hutan dan air yang khas berdasarkan pengalaman dan “kesepakatan” sosial di dalam masyarakat asal mereka.
Kelompok Ibu "Mama IRA" Kampung Yomakan
Kampung Yomakan berada di Pulau Rumberpon yang secara administratif termasuk dalam wilayah Distrik Yembekiri. Sebagai kampung yang berada di pulau, sebagian besar masyarakatnya bermatapencaharian sebagai nelayan dan hanya sebagian kecil saja yang bekerja sebagai PNS, pedagang, dll.
Kajian mengenai peran, status dan otoritas perempuan dalam pengelolaan sumberdaya yang digunakan dalam konservasi di Yomakan ini merupakan pendekatan budaya yang berangkat dari teori feminisme, yang menuju pada diskursus kesetaraan gender.
Hal ini dilatarbelakangi oleh adanya pandangan bahwa terdapat ketidaksetaraan dalam akses terhadap peluang-peluang dan sumberdaya yang dialami oleh perempuan: “Feminists fight for the equality of women and argue that women should share equally in society’s opportunities and scarce resources.” (Delaney, 2005)
Namun sayangnya, peran perempuan dalam pengelolaan SDA sering terlupakan dan tidak mendapatkan perhatian. Hal ini kemudian berdampak kepada program-program pembangunan dan kebijakan-kebijakan yang belum mengakomodir ruang dan peran perempuan dalam pengelolaan sumberdaya alam, misalnya, belum dilibatkannya perempuan secara maksimal dalam proses pengambilan keputusan yang berdampak kepada hilangnya ruang sumber mata pencaharian perempuan dalam pengelolaan sumberdaya alam.
Berbeda dengan Kelompok Ibu “Mama IRA” yang beranggotakan para ibu Kampung Yomakan baik tua maupun muda. Pembentukan Kelompok ini berawal dari adanya niat kaum Ibu dalam rangka kebutuhan akan ruang kelola untuk berperan dalam pengelolaan sumberdaya alam.
Selanjutnya kelompok ini dibentuk atas inisiatif kaum Ibu yang difasilitasi oleh Taman Nasional Teluk Cenderawasih (TNTC) bekerjasama dengan WWF ID Teluk Cenderawasih. Peranan kelompok ini terfokus pada rehabilitasi habitat Kima (Tridacna sp.) atau disebut “Kebun Kima” oleh masyarakat.
Relokasi kima raksasa ke kebun kima oleh kelompok Mama Ira (Foto Oleh.TNTC)
Secara kelembagaan, kelompok ini belum juga ditetapkan melalui Surat Keputusan. Namun dengan adanya niat dan semangat yang besar, mereka berkomitmen untuk ikut berperan dalam kegiatan pengelolaan kawasan konservasi perairan Taman Nasional Teluk Cenderawasih yang kondisinya sudah sangat memprihatinkan (rusak).
Penamaan Kelompok Ibu ini dengan nama “Mama IRA” mengandung arti: Mama merupakan sebutan untuk Ibu/Perempuan yang sudah menikah sedangkan IRA adalah sebutan untuk jenis Kima yang terbesar atau Bia Ubai dalam bahasa Wandamen dengan bahasan latin yaitu Tridacna gigas.
Focus Group Discussion (FGD) dipilih sebagai metode dalam kegiatan ini, karena dengan metode ini dapat mendorong setiap peserta untuk dapat mengidentifikasi potensi dan kelemahan mereka sendiri serta dapat menyampaikan rencana serta perkembangan aktivitas kelompok hingga saat dilakukan kegiatan.
Tulisan ini diambil dari Buku:
Penamaan Kelompok Ibu ini dengan nama “Mama IRA” mengandung arti: Mama merupakan sebutan untuk Ibu/Perempuan yang sudah menikah sedangkan IRA adalah sebutan untuk jenis Kima yang terbesar atau Bia Ubai dalam bahasa Wandamen dengan bahasan latin yaitu Tridacna gigas.
Focus Group Discussion (FGD) dipilih sebagai metode dalam kegiatan ini, karena dengan metode ini dapat mendorong setiap peserta untuk dapat mengidentifikasi potensi dan kelemahan mereka sendiri serta dapat menyampaikan rencana serta perkembangan aktivitas kelompok hingga saat dilakukan kegiatan.
Berdasarkan FGD tersebut, beberapa potensi partisipasi yang sempat digali antara lain:
Pertama. Semua anggota memiliki semangat dan antusiasme yang tinggi dalam upaya rehabilitasi Kima (Tridacna sp) yang telah dibangun
Kedua. Semua anggota memiliki kesamaan niat untuk mengelola dan menjaga kelestarian sumber daya alam terutama Kima yang ada di sekitar perairan Kampung Yomakan khususnya di sekitar Pulau Apimasum
Ketiga. Potensi habitat kima di perairan Kampung Yomakan sangat tinggi untuk dikembangkan menjadi obyek studi dan wisata kebun kima
Keempat. Telah terdapat beberapa kelompok masyarakat di Kampung Yomakan yang saling tolong-menolong dalam pelaksanaan kegiatan pengembangan dan pengelolaan kebun kima
Kelima. Memiliki kepedulian dalam melakukan sosialisasi dan mengajak masyarakat kampung Yomakan untuk tidak lagi mengambil kima dengan cara menegur dan menyampaikan kepada pihak RT dan gereja untuk memperingatkan masyarakat agar ikut serta melestarikan kima dan tidak lagi mengambil kima
Keenam. Mau bekerjasama dengan kelompok lain dalam pengelolaan kebun kima antara lain dalam transplantasi terumbu karang di area kebun kima
Ketujuh. Kegiatan pengelolaan sumber daya alam dan upaya konservasi yang dilakukan telah didukung oleh beberapa kelompok nelayan serta telah memiliki peraturan Kampung Yomakan tentang pelestarian sumber daya pesisir dan laut serta telah ada Surat Keputusan bersama kepala-kepala kampung di Distrik Rumberpon dan Distrik Sougwepu tentang Estimasi Potensi, Jumlah Tangkapan yang Diperbolehkan, dan Tingkat Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Kerapu di Sekitar Perairan Pulau Rumberpon
Kedelapan. Kampung Yomakan telah memiliki peta wilayah kelola adat. Dalam perjalanannya, upaya pendampingan kepada Mama Ira telah melahirkan berbagai kegiatan dengan skala terbatas, termasuk rencana kerja kelompok
Tulisan ini diambil dari Buku:
"MERETAS EKOWISATA BERBASIS KONSERVASI TRADISIONAL DI TAMAN NASIONAL TELUK CENDERAWASIH" (Halaman: 75-79)
Penulis: Ben Gurion Saroy dan Saiful Anwar
Penulis: Ben Gurion Saroy dan Saiful Anwar
Posting Komentar